Aku
kembali merindu, merindukan pemilik senyuman itu. Aku kembali merindu, pada
tatapan yang selalu getarkan dada. Aku kembali merindu pada tutur kata lembut
yang mengalun indah dari bibirnya. Aku merindu dan selalu saja merindu. Entah
sampai kapan aku merasakan rasa ini, Merindu.
Sabtu kelabu memeluk hujan. Aroma
tanah basah disiram air hujan sejak tadi malam menguapkan memori kampung halaman. Mengingatkanku pada cuaca
di Dieng jawa tengah, kampung halamanku. Aku
masih bisa merasakan betapa dinginnya cuaca Dieng
walaupun telah berpuluh-puluh kilometer terpisahkan. Ya, Yogyakarta menjadi tempat tujuanku untuk melanjutkan
studi dijenjang yang lebih tinggi. Setelah tamat dari SMA Negeri 1 Dieng aku
memberanikan diri merantau. Mencoba mendaftarkan diri ke salah satu perguruan
tinggi negeri
di Yogyakarta melalui
program bidik misi. Dan sekarang disinilah aku, di kota dengan seribu satu
cerita, Yogyakarta.
Seminggu yang panjang telah kulalui.
Sebagai mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar atau bisa disingkat dengan PGSD
semester 5. Aku memiliki jadwal yang tak menentu. Kadang masuk namun lebih
sering tidak. Aku lebih sering mendapatkan tugas dari pada mendengarkan dosen
mengajar. Entah, mungkin itu karena sebentar lagi aku akan KKN.
Sama halnya dengan sabtu kelabu ini,
aku masih saja sibuk berkutat dengan tugas-tugas yang entah kenapa kian hari
kian tinggi saja tumpukannya. Sepertinya dosen-dosen memang sedang
berlomba-lomba memberikan tugas kepada muridnya.
Pegal kakiku karena terlalu lama
kutekuk untuk dapat mengetik dengan posisi
yang paling nyaman. Sejenak aku mencoba meluruskannya, namun tetap saja. Ternyata
rasa pegal ini bukan hanya milik kaki, ternyata mata juga sudah mulai merasa
pegal hanya melihat layar putih bergaris dari komputer. Ada apa dengan tubuh ini, tak bisakan kalian berbaik hati sejenak pada
sang empunya tubuh untuk dapat mampu menyelesaikan tugas-tugasnya tepat waktu?
Mengikuti
suara hati kuputuskan untuk berjalan-jalan sebentar. Sekedar menyegarkan tubuh dan memenuhi kehendak perut yang
baru kuingat terakhir kali kuisi tadi malam.
Sabtu sore, selalu saja jalanan
depan kos-kosanku ramai. Beberapa mahasiswa keluar, hendak menghabiskan malam
minggu dengan hangout bersama teman-temannya, ngedate bersama kekasihnya atau
sekedar pergi mencari makan. Ya, mungkin pilihan terakhir sama dengan
pilihanku.
Aku segera mempercepat langkahku
ketika gerimis mulai membasahi kerudung paris yang kukenakan. Aku segera
berbelok ketika sampai diujung gang. Setelah beberapa langkah aku berjalan, aku masuk ke salah satu warung makan tenda
langgananku. Melihatku masuk, Bu Slamet segera menanyaiku ingin makan ditempat
atau bawa pulang. Sepertinya Bu Slamet memang tak perlu menanyai aku ingin pesan apa. Bu Slamet selalu tau apa yang akan ku pesan.
Sepuluh menit menunggu, Bu Slamet
datang bersama lele goreng dan secangkir nasi hangat. “ Jingga jingga, mungkin
kamu ini harus segera mencari kekasih agar tak perlu setiap sabtu malam ibu
melihatmu hanya makan di warung tenda sendiri seperti ini”. Aku hanya tersenyum
sambil tersipu malu mendengar ucapan bu Slamet barusan.
Bu Slamet memang benar, dari 2 tahun yang lalu aku pasti hanya menghabiskan
malam minggu disini. Jika tidak, mungkin aku hanya meringkuk di kos. Jingga sampai kapan kau menunggunya?
Sampai kapan kau kan terus merindu?
Terlihat getaran perlahan dari
ponselku yang kuletakkan diatas meja. Dengan ragu kumeraihnya. Aku memang bukan
tipe seorang gadis jaman sekarang yang suka sekali bermain dengan ponselnya. Aku hanya
menggunakan ponsel untuk beberapa kepentingan saja. Bukan karena ponselku yang
tak canggih. Ponselku sudah masuk dalam kategori “si telepon pintar” yang
sedang digandrungi banyak gadis. Aplikasi-aplikasinya juga tak kalah menarik.
Sejumlah aplikasi seperti what’s up, bbm, path, instagram, skype,
bahkan talking tom ku miliki.
Pesan itu berasal dari aplikasi
what’s upku. Terlihat sebuah nama si pengirim pesan, Kenanga. Kenanga? Kenapa harus kenanga? “bukankan
sejak lama aku memutus hubungan dengannya. Tak cukupkah ucapanku waktu itu?”
teriakku dalam hati.
Kenanga Amalia Sari, orang kedua
yang kubenci setelah diriku sendiri. Aku dan Kenanga sudah bersahabat dari
pertama kali aku masuk SD. Saat itu kami sedang berumur 7 tahun. Aku
mengenalnya sebagai gadis yang periang dan sangat keras kepala. Kenanga tumbuh
ditengah keluarga yang sangat menyayanginya. Ayahnya seorang pemilik perkebunan
teh di seluruh Dieng. Pantas saja jika setiap keinginannya selalu terwujud.
Apalagi keinginannya yang, duh kalau mengingatnya aku masih selalu saja merasakan
sakit hati. Mungkin itu juga merupakan alasan kenapa aku meninggalkan Dieng, tempat kelahiranku.
“jingga, bisakah kau untuk sebentar
mengunjungiku di Dieng? Aku sangat merindukanmu” aku hanya bisa terdiam menatap
layar ponsel dihadapanku. Sejurus kemudian tetes air mata mulai menerobos dari
balik kedua mataku. Aku kembali bisa merasakan sakit yang teramat dalam dua setengah tahun yang
lalu.
~
Pagi ini aku berjalan melangkah
menyusuri sepanjang jalan menuju kampus UNY. Sejak kemarin sore motorku berada
di bengkel sebelah kos. Kata
sang montir motorku perlu untuk
diservis total. Maklum, sudah lebih dari setahun aku tak pernah membawanya ke
bengkel selain untuk ganti oli. Jadi kuputuskan hari ini aku akan berangkat
kekampus dengan berjalan kaki. Semoga saja tidak hujan.
Sedari jam 6 aku sudah keluar dari
pintu kamar kosku.
Beberapa teman kos sempat terheran melihatku sudah siap ke kampus sepagi ini. Saat
kuceritakan tentang kejadian motorku yang di bengkel. Mereka berebut
ingin menawarkan tumpangan ke
kampus.
Tapi semuanya kutolak dengan halus. Aku memang tak suka merepotkan orang lain.
Itu sudah menjadi tabi’atku sejak lama.
Ternyata jogja sepagi ini masih
sangat sepi, jalanan masih lenggang hanya ada beberapa kendaraan yang melaju.
Wajah kota ini sangat berbeda dengan beberapa jam kemudian. Terlebih pada jam 7
pagi ataupun jam- jam pulang kerja.
Tiga puluh menit aku menyusuri
jalanan menuju kampus tibalah aku di gerbang utamanya. Selalu saja masih
terbayang kenangan dua tahun yang lalu. Saat dengan bangga aku melangkah masuk
melewati gerbang utama yang gagah berdiri menyambut ratusan mahasiswa tiap harinya.
Kala itu aku jauh berbeda dengan saat ini. Aku masih sangat lugu, masih
terlihat sisi kedesaannya.
Dari gerbang utama aku masih harus
berjalan sekitar empat ratus meter mencapai gedung fakultas Pendidikan Guru
Sekolah Dasar. Gedung masih sangat sepi ketika aku memasukinya. Kuputuskan untuk sekedar
duduk menunggu dibangku sebelah gedung. Jadwal kuliahku pagi ini jam setengah
delapan. Masih ada waktu sekitar setengah jam. Aku bisa bersantai terlebih
dahulu.
Kuaduk totebag dilengan, mencari
sebuah besi persegi panjang bernama ponsel. Ada sebuah pesan masuk di aplikasi
what’s up. Kenanga, namanya ada dideretan teratas dalam kontak pesan whats up.
Ia mengirimi sebuah pesan kembali. Sebuah pesan yang tak jauh berbeda dengan
kemarin. Ternyata ia masih keukeuh
menyuruhku pulang.
Pesan itu kudiamkan saja. Aku tak
kuat menjawabnya. Ingin rasanya mengetik kata iya namun hati ini belum sanggup
jika harus terluka kembali. Bahkan sepertinya hati ini sudah tak sudi terluka.
Kuabaikan pesan Kenanga. Aku segera
membuka aplikasi yang lain, sepertinya instagram adalah obat termanjur untuk
pelipur lara di pagi
ini. Segera kebuka instagram dan kuketik sebuah nama, Dagelan. Akun yang selalu
menyajikan foto-foto yang selalu dapat membuatmu terpingkal-pingkal membacanya.
Tak percaya? Coba searching aja akun ini.
~
Tepat pukul setengah delapan kelasku
akan dimulai. Sejak sepuluh menit yang lalu aku sudah sampai ke kelas. Beberapa menit
kemudian teman-temanku berangsur datang. Mereka menyapaku dan segera duduk
disampingku. Sekedar duduk bercerita sambil memendang tetes-tetes hujan diluar
gedung. Aku selalu
memiliki daya magnet mengundang teman-temanku duduk merapat disampingku.
Mereka mulai menceritakan
pengalamannya menghabiskan weekend
kemarin. Cerita dimulai dari kejadian kocak yang dialami kawanku, Dya. Dya
mengalami kejadian memalukan saat sedang berbelanja di carefour swalayan yang
ada di ambarukmo plaza. Ketika hendak turun
dari tangga, Dya terpeleset dan semua apel yang ia beli menggelinding. Kejadian
itu mengundang tawa sejumlah pengunjung yang ada di mall kala itu. Beberapa
pengunjung membantunya memungut kedua puluh apel yang ia beli. Kami semua
tertawa mendengar cerita Dya.
Kejadian yang dialami Dya
berkebalikan dengan cerita
romantis yang dialami Vita. Ia mendapatkan kejutan ulang tahun dari kekasihnya
yang datang khusus dari Kalimantan. Kekasihnya itu datang bersama dengan
seluruh anggota keluarga Vita. Itu ialah momen ulang tahunnya yang paling
terindah dan tak akan pernah ia lupakan. Betapa bahagianya Vita, ia
menceritakannya dengan mata berkaca-kaca saking bahagianya. Aku pun ikut bahagia mendengarnya. Dalam hati aku iri
terhadap Vita. Terhadap seluruh perhatian yang selalu saja diberikan oleh
kekasihnya.
“bagaimana denganmu Jingga. Apa
ceritamu weekend
kemarin?” Vita bertanya padaku. Membuat seluruh perhatian temen-teman beralih
kepadaku. Tatap-tatap mereka penasaran. Aku hanya menggeleng, semua temanku
tetap diam. Seperti belum cukup jawabanku barusan. “aku hanya menghabiskan waktuku dikamar
dan menyelesaikan tugas-tugas”
jawabku sekenanya. Tapi bukankah hanya itu yang aku lakukan kemarin?
Teman-temanku hanya bisa ber-ohh,
alih-alih mendengar cerita romantis ataupun lucu. Ternyata hanya jawaban yang
selalu saja masih sama yang mereka dengar. “jingga, sekali-kali kau harus
menghabiskan waktumu untuk sekedar nonton film atau makan di kafe. Kalau kau
bingung, ajaklah kami. Kami pasti akan selalu mau menemanimu” kata vita tulus
sambil menyenggol lenganku. Aku hanya tersipu malu seraya mengangguk setuju.
Sebentar kemudian, pintu kelas
terbuka. Kami langsung membereskan kursi dan duduk dengan rapi. Setelah
memberikan salam dan seperti biasa mengabsen. Pak Bambang, dosen pagi ini
segera menjelaskan tentang tugas tambahan untuk liburan semester minggu depan.
“untuk liburan semester kali ini,
bapak minta tiap anak membuat artikel tentang cara mengajar guru didesanya.
Kalian harus mengobservasi minimal satu sekolah dasar didaerah kalian. Lebih
baik lagi jika SD
kalian. Lalu memberikan solusi jika mungkin ada cara mengajar yang tidak sesuai
dengan kondisi wilayah tempat tinggal. Untuk tugas ini bapak mohon kalian
benar-benar mengadakan
observasi. Karena hasil artikel yang kalian peroleh akan sangat bermanfaat bagi
kehidupan kalian kelak setelah menjadi guru. Mungkin hanya sekian yang bisa
bapak sampaikan. Selamat berlibur. Dan tugas bapak tunggu paling lambat satu
minggu sejak masuk pertama kuliah. Artikel dengan observasi terlengkap dan
terakurat akan bapak masukkan ke blog universitas”
Pelajaran segera dilanjutkan oleh
sang asisten dosen karena hari ini Pak Bambang berhalangan mengajar lebih lama
karena ada agenda rapat kampus.
~
Tugas Pak Bambang mengingatkanku
akan pesan yang dituliskan Kenanga untukku. Untuk membuat sebuah artikel
seperti itu. Aku mesti pulang ke kampung halamanku. Padahal sudah kubuat agenda
mengisi liburan ini, bahwa
aku akan menetap di Yogyakarta. Ya, aku memilih tidak pulang ke Dieng.
Menghindari pertemuanku dengan Kenanga. Menghindari sebuah janji yang sudah
sejak lama diingkari oleh si empunya janji. Tapi, demi membuat sebuah artikel
terspesial yang bisa aku persembahkan ke Pak Bambang aku harus pulang ke Dieng.
Oke, aku akan membuat keputusan. Aku akan pulang ke Dieng barang sebentar.
Cukup tiga hari, dan akan kugunakan seluruh hariku itu untuk mengobservasi SDku
dan menulis artikel. Cukup hanya itu, tak lebih.
~
Pagi sekali travel yang aku pesan
sudah menjemputku didepan kos-kosan. Dengan tergesa kukunci kamar dan segera berlari
menuruni tangga menuju pintu depan. Aku segera meminta maaf ketika dengan tidak
sengaja menyenggol salah seorang tetangga kos-kosanku yang sedang berdiri
merapikan sepatu didepan kamarnya.
Saat membuka pintu travel aku
langsung dapat mengira kalau aku merupakan penumpang terakhir yang dijemput.
Travel ini terdiri oleh 10 penumpang dengan satu orang sopir didepan, tujuh penumpang adalah
penumpang laki-laki dan tiga diantarang termasuk aku adalah perempuan. Kami
akan melewati empat jam bersama menuju Dieng, Jawa Tengah.
Baru setengah jam aku didalam
travel. Belum ada seperempat perjalanan, aku merasakan rasa bosan yang teramat
sangat. Segera kuaduk ponsel dari dalam tasku, sejurus kemudian aplikasi media
player sudah siap menunggu.
Setelah menancapakan headshet ditelinga, kutekan tombol play dari dalam
ponselku. Suara Maudy Ayunda telah mengalun merdu memenuhi telingaku. Sungguh pengantar tidur yang menenangkan.
Setelah menekan tombol keluar dari
dalam ponselku, aku tertarik juga melihat pesan-pesan yang masuk ke aplikasi
what’s up, melupakan
rencana tidurku barusan. Tentu saja nama Kenanga masih ada disana. Tak akan
pernah ku hapus, tidak aku memang tidak sanggup.
Kubuka kembali pesan yang dituliskan
Kenanga untukku. Ternyata tak hanya pesan tulis, Kenanga juga sudah mengirimkan
sejumlah foto. Tak kuasa aku menahan linangan air mata, ketika didepanku telah
disodorkan foto Kenanga denganku dulu semasa SMA juga foto-foto lain kenangan
kami semasa SMA. Aku memandangi foto-foto itu. Perlahan membawanya kepelukanku.
Menangislah aku sejadi-jadinya pagi itu. Bersama lajunya travel membawaku
ketempatnya, ketempat Kenanga berada.
~
Adzan dhuhur menyambutku ketika
pertama kalinya setelah dua tahun yang lalu, aku menginjakkan kaki kembali ke
tanah kelahiranku. Ketempat dimana aku telah dibesarkan. Ketempat dimana seluruh
kisah ini seharusnya dimulai disini.
Aku masih sangat hafal tempat ini.
Lebih seperti aku menghafal diriku
sendiri. aku memutuskan untuk naik ojek untuk menuju kerumahku yang masih
berjarak satu kilometer dari tempatku berdiri saat ini.
Kami, aku dan sang bapak ojek berjalan perlahan
menuruni sebuah jalan yang
terjal, takut-takut terjatuh terjerembab kejurang dibawahnya. Aku sangat
menikmati perjalanan satu kilometer yang kulalui sekitar dua puluh menit karena
jalanan yang sangat tak bersahabat ini.
Setelah memberikan dua lembar uang
sepuluh ribuan dan mengucapkan terima kasih aku segera beranjak pergi. “neng, maaf apakah
ini Jingga? Jingga yang temannya Kenanga dulu?” perkataan tukang ojek tadi
membuatku segera berhenti dan berbalik mengangguk. “apakah kau sudah lupa
denganku, Jingga? Aku ini Panji teman sekelasmu dulu” aku segera tertawa dan
berjalan mendekati Panji. Kami saling tertawa, mentertawakan kebodohanku bisa
lupa pada Panji.
Panji bercerita banyak hal, tentang pekerjaannya, tentang
keluarga barunya, tentang anaknya yang baru saja lahir, tentang apapun.
“Jingga, kau harus melupakan masalahmu dengan Kenanga. Semua itu sudah berlalu.
Dua tahun lebih kau telah diam,
menutup dirimu. Bahkan pergi merantau meninggalkan seluruh kenangan di Dieng
ini. Aku mohon sebagai temanmu Jingga. Aku mohon kau berbaik hati untuk barang
sebentar mengunjungi Kenanga. Ia sangat ingin bertemu denganmu. Semua orang
bisa berbuat salah, Jingga. Kau juga pantas jika ingin menghukum Kenanga. Tapi
ketahuilah Jingga, Kenanga sudah sangat menyesali perbuatannya saat itu”.
Aku hanya diam membisu. Tak ada yang
ingin aku katakan. Tepatnya tak ada yang pantas aku katakan. Hanya air mata
yang tak bisa lagi kubendung. Siang itu aku kembali terisak, kembali terisak
untuk yang kesekian kalinya.
Panji mengangguk seperti bisa
menebak apa yang aku pikirkan. Dia membiarkanku tetap terisak. Menunggu hingga
aku berhenti terisak. Dan kemudian ia pamit, memohon pulang karena adzan Asar telah
terdengar. Sore itu kami menutup percakapan sahabat lama masih dengan tanda
tanya. Sampai kapan aku menutup diri dari
masa laluku?
~
Saat aku mengucapkan salam tadi
sore. Seketika itu juga rumahku berubah kembali ceria. Sepertinya mereka memang
sudah lama menunggu kepulanganku. Menunggu tiap hari selama dua tahun lamanya.
Mereka, ibu ayah dan kakakku memang sering memintaku pulang. Tapi mereka tak
pernah memaksa jika aku selalu berkata aku belum mau pulang. Mereka selalu
yakin, suatu saat nanti aku pasti pulang. Dan ternyata suatu saat nanti itu
adalah hari ini. Hari Sabtu, 13
Desember 2014.
“Dek,
bolehkah kakak masuk?” suara kakakku lembut seraya perlahan mengetuk pintu
kamarku. “tentu saja boleh, silahkan masuk” teriakku dari dalam. Kakakku segera
paham dan memberanikan diri masuk kamar.
“jingga, apakah kakak
mengganggumu?”. Aku segera menggelengkan kepala menjawab tidak. “kalau begitu
bolehkah kakak bercerita padamu tentang sebuah kisah yang kakak pendam
rapat-rapat darimu dua setengah tahun yang lalu”. Aku segera duduk dipinggiran
kasur memberikan ruang yang lebih lebar agar kakakku leluasa bercerita.
“itu hari dimana kamu pulang sekolah
dengan menangis. Kakak memang sudah berkali-kali melihatmu menangis tapi kali
itu berbeda. Kakak melihatmu menangis dengan sangat tersedu-sedu. Kakak merasa
ada sesuatu yang salah. Saat kakak coba ketuk
kamarmu. Kau hanya menangis dan terus menangis. Kakak putuskan untuk hanya diam
dan duduk didepan rumah. Setelah hari berangsur senja, datanglah seorang
pemuda. Kakak sangat mengenalnya, tentu kau juga sangat mengenalnya. Ia datang
dan langsung memeluk kakak. Kakak langsung mengajaknya duduk dan membuatkan
sebuah teh hangat. Sore itu ia bercerita tentang semua. tentang ia yang
mencintaimu, dan kedatangan Kenanga dihidupnya, tentang ayah Kenanga, dan
tentang jabang bayi yang dikandung Kenanga. Ia benar-benar bersumpah menyesal
atas semua kejadian buruk itu. Ia
sungguh menyesal Jingga. Namun ia juga tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa
mengatakan kalau sampai kapanpun ia akan selalu mencintaimu. Jingga, sampai
kapanpun” Jingga hanya bisa tersedu-sedu mendengar ungkapan kakaknya. Dalam
memorinya, masih sangat terlukis jelas sosok pemuda yang dari SMP itu telah
mengisi hatinya. Bahkan hingga saat ini, setelah dua setengah tahun kejadian
itu terlewatkan.
“bolehkah kakak memohon satu hal padamu Jingga? Maukah
kau mengunjungi Kenanga? Kenanga sangat membutuhkanmu saat ini” ucap kakaknya
perlahan seraya mengelus lembut rambut Jingga. Jingga masih tersedu-sedu tak
bisa berkata apa-apa. Seperti paham apa yang Jingga pikirkan kakaknya berkata
“Jingga, semakin kau menghindarinya kau justru akan semakin dekat. Jingga,
kakak dengan senang hati akan menemanimu kerumah Kenanga. Bagaimana, dek?”
samar namun pasti Jingga mengangguk. Mungkin
sudah tiba waktunya aku harus menghadapi masa laluku sendiri.
~
Sepagi itu Jingga sudah bersiap didepan cermin,
berusaha menghilangkan bekas tangis semalam dengan beberapa perlengkapan
kosmetik. Saat itu waktu menunjukkan pukul tujuh setengah jam. Sudah saatnya
Jingga harus bergegas. Bekas tangisannya pun berangsur tertutup oleh makeup
yang sengaja ditebalkan.
Perjalanan menuju rumah Kenanga membutuhkan waktu hampir
satu jam menggunakan sepeda motor. Kakaknya sengaja meliburkan diri hari itu.
Ia sudah berjanji akan selalu menemani adiknya. Dan janji itu ia tepati hari
ini. Saat pamit tadi pagi ibunya menepuk pelan bahu Jingga, berusaha memberikan
suntikan semangat kepada anak bungsunya itu.
Sebelum sampai dirumah Kenanga, kakaknya mengajaknya
ke sebuah toko bunga. Kakaknya membeli seikat bunga mawar merah. Itu memang
bunga kesukaan Kenanga, dulu aku sering sekali membelikan Kenanga bunga mawar
merah itu.
Perjalanan selanjutnya membuatku semakin gelisah. Apa yang akan Kenanga katakan? Apa yang akan
aku jawab? Apa? Apa?. Kurang lima belas menit lagi kami akan sampai didesa
tempat Kenanga tinggal.
Setelah sampai digapura masuk ke desa itu aku semakin
gugup. “kak berhenti!” ucapku tegas yang membuat kakakku segera mengerem laju
sepeda motor yang kami naiki. Saat motor berhenti, seketika itu juga aku
langsung turun dan berjongkok. Aku semakin gugup, keringat dingin mengucur
deras dari telapak tanganku. Apakah ini
berarti aku belum siap? Tapi sampai kapan?
“semua keputusan ada di kamu, Jingga. Kita lanjut atau
berhenti cukup sampai disini”. Aku hanya diam, kakakku segera turun dari motor
dan menggandeng tanganku. Kami duduk ditanggul sebuah rumah.
Lima belas menit lamanya aku hanya diam menunduk
ditanggul. Sesekali mengangkat wajahku. Tiba ke menit lima belas, persis aku
menghitungnya. Aku berdiri mengajak kakakku melanjutkan perjalanan. Kakak hanya
mengangguk dan kembali menstarter motor.
Motor kembali melaju. Kemudian berhenti tepat didepan
rumah Kenanga. Rumah itu masih sama, masih sama dengan dua setengah tahun yang
lalu. Mawarnyapun masih tumbuh subur didepan rumahnya. Hanya saja kini semakin sedikit
jumlahnya.
Sesaat setelah kami sampai, pintu rumah itu terbuka.
Seorang gadis kecil berumur sekitar satu setengah tahun keluar.
“Astaghfirullah, apakah itu? Sudahlah aku kesini memang untuk menemuinya”
bisikku dalam hati. Sama halnya denganku. Gadis kecil itu berdiri
terheran-heran. Pantas saja karena ini pertama kalinya kita berjumpa. Ia segera
meneriakkan beberapa kalimat kepada penghuni rumah. Mengabarkan kalau ada
seorang tamu didepan. Gadis kecil itu menggandeng lembut tanganku. Mengajakku
memasuki rumahnya, aku menoleh kearah kakakku. Dan ia tersenyum seraya berjalan
disampingku.
Baru saja beberapa langkah kakiku masuk kerumah itu.
Sebuah pelukan kawan lama segera menghambur ke tubuhku. Ya, itu adalah Kenanga.
Ia segera menangis tersedu-sedu dalam pelukku. Berkali-kali permohonan maaf ia
ucapkan. Aku hanya bisa mematung bisu. Kata-kata yang sudah kusiapkan sepertinya
menguap diudara. Aku memilih diam. Membiarkannya terus tersedu-sedu
dipelukanku.
Lama setelah itu ia pun berangsur tenang. Sejurus
kemudian ia mengajakku duduk disebuah sofa besar diruang tamu. “mama, mbak ini
siapa?” terbata-bata ia berbicara. Ibunya hanya tersenyum seraya menyuruhnya
masuk ketempat neneknya.
“jingga, maukah kau memafkanku” suara Kenanga memecah
sunyi yang membungkus sejak kepergian gadis itu. Aku kembali diam dan menunduk,
meremas jari jemariku yang sudah sedari tadi basah oleh keringat dingin.
“jingga, aku akan bercerita. Maukah kau mendengarnya” samar namun pasti aku
mengangguk menandakan kesetujuanku.
“saat itu kita berdua sama-sama masih berada dibangku
SMP. Aku dan kamu pasti mengenalnya, ya pemuda itu. Anak baru yang masuk ke
kelas kita saat kita dibangku kelas tiga. Kita bertiga kerap sekali mendapatkan
tugas satu kelompok, oh tentu saja juga dengan Panji. Kenapa aku jadi
melupakannya. Hahaha” tawanya terdengar sangat sumbang. “tiba saat SMA, saat
dimana kejadian itu terjadi. Saat itu hujan deras, matahari juga sudah sedari
tadi tumbang diufuk barat. Aku selalu ingat pesan guru ngaji kita dulu. Jika hanya ada dua orang laki-laki dan
perempuan maka yang satu lagi adalah setan. Dan hal itu benar-benar
terjadi. Setan telah membutakan mata kami. Bukannya aku tak tahu kalau selama
ini kau memendam rasa padanya, Jingga. Aku tahu, tapi kau juga sebaliknya harus
tahu. Jika sudah dari lama juga aku jatuh cinta padanya. Aku suka padanya sejak
ia berdiri di depan kelas memperkenalkan dirinya. Mungkin untuk kejadian di
sore itu, kau lebih tepat membenciku. Karena saat itu berulang kali ia bilang
bahwa hanya kau yang disukainya. Aku yang mendesaknya. Dan setelah kejadian itu
terjadi, dua bulan tepatnya. Aku merasakan apa yang sering beberapa ibu hamil
rasakan. Saat itu aku panic, Jingga. Aku takut, gelisah, dan hancur. Sepulang
sekolah sore setelah bimbingan belajar selesai aku mengajak pemuda itu. Yah
sepertinya aku harus mulai mengucap namanya. Aku mengajak Andi mengobrol
sebentar. Saat semua teman sudah pulang sekolah, aku langsung menceritakan
semua yang kurasakan. Dan bertanya padanya apa yang harus aku lakukan. Andi
hanya diam, jelas terlihat wajahnya pucat pasi. Mungkin hal itu tak pernah ia
pikirkan sebelumnya. Kala itu memang hanya ada satu jalan keluar yang bisa
diambil. Suka tidak suka Andi tetap harus menikahiku” cerita Kenanga terhenti
ia mengambil tisu diatas meja. Dan kembali mengusap wajahnya yang sudah basah
sejak tadi.
“dan jadilah dibulan kehamilanku kelima, Andi
menikahiku. Keputusan itu terpaksa kami ambil, Jingga. Maafkan aku, sungguh
maafkan aku. Kau boleh sekali membenciku. Tapi aku mohon jangan benci Andi. Ia
sungguh masih mencintaimu. Bahkan sampai sebulan lalu, saat Andi menghembuskan
nafas terakhirnya ia masih saja menyebut namamu, Jingga. Ya, hanya kamu. Bahkan
aku yang dari tiga bulan sebelumnya merawatnya pun ia lupakan. Kami memang
sudah menikah, baik secara agama ataupun pemerintah. Tapi dalam rumah kami tak
lebihnya seorang teman yang selalu menjaga jarak. Sekarang atas nama Andi, atas
nama orang yang aku cintai sejak kita sama-sama duduk dibangku SMP. Aku
memohonkan maafmu. Biarkan Andi tenang disana” cerita itu ditutup dengan sebuah
permintaan maaf yang begitu suci. Sebuah permintaan maaf dari teman lama untuk suaminya yang sangat ia
cintai namun tak pernah bisa membalas rasa cintanya.
~
Sang
pemilik kehidupan memang selalu punya rahasia di setiap kehidupan seorang
hambanya. Tepat satu tahun setelah kematian Andi. Kenanga menikah dengan
kakakku, kak Gusti. Mereka hidup bahagia, akhirnya Kenanga benar-benar
menemukan cintanya yang ia dapat bukan dari orang yang ia cintai. Namun orang
yang diam-diam mencintainya sejak masih kanak-kanak.
Lalu
bagaimana dengan kisahku? Kapan aku dipertemukan-Nya dengan sosok pemuda yang
selalu aku harapkan ditiap sujudku? Aku sudah bosan menghabiskan waktuku
sendiri, tanpa sang kekasih hati.
Aku merindu, sungguh merindu.